Minggu, 03 Juli 2016

Ramadhan di Pedalaman Gorontalo (Pinogu)

Tak terasa, dalam hitungan beberapa jam Ramadhan 1437H akan segera berakhir. Tak terasa pula bahwa kejombloan ini belum juga berakhir (Apasih, abaikan wkwk). Ada banyak kisah di Ramadhan ini yang hendak aku bagi. Namun pesan whatsapp di group KKN membuatku memutuskan menulis kisah ini. Sebuah momen ramadhan yang baru pertama kali aku alami, di sebuah tempat di pedalaman Gorontalo, mereka menyebutnya PINOGU.


Pinogu adalah sebuah kecamatan di pedalaman Gorontalo, tepatnya di tengah kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bone Bolango. Juli 2013, akses menuju Pinogu masih sangat butuh perjuangan. Kecamatan Pinogu hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan ojek dengan ongkos 500rb sekali jalan. Karena ingin mencoba tantangan baru (sebenernya karena keterbatasan dana) untuk menuju Pinogu kami memutuskan untuk Hiking (berjalan kaki). Waktu tempuh dari starting poin Kecamatan Suwawa Timur menuju Kecamatan Pinogu dengan berjalan kaki normalnya adalah 8-12 jam. Namun sebagai pemula beberapa orang diantara kami baru dapat mencapai pinogu setelah 16 Jam (07.30 – 23.30) itupun melalui berbagai insiden seperti kram, tertahan di tengah hutan, kehabisan air minum dll.

Misi kami bersusah-susah datang ke Pinogu adalah dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama kurang lebih 2 bulan lamanya. Kedatangan kami saat itu hanya beberapa hari sebelum Ramadhan sehingga otomatis kami harus menjalani Full Ramadhan sekaligus lebaran di lokasi KKN, sebuah keadaan yang awalnya tidak sempat saya bayangkan.

Memulai Ramadhan di Dataran Hijau
                Tidak ada persiapan yang ribet menjalani Ramadhan di tempat ini. Sebelum Ramadhan kami hanya berkumpul di kantor kecamatan untuk membahas program KKN dan Ramadhan di masing-masing desa sekaligus berkoordinasi dengan Pemerintah setempat dan rekan-rekan IP2MP (Ikatan Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Pinogu).

                Seusai mendapat kepastian hari dimulainya Ramadhan, seperti biasa masyarakat berkumpul memadati Masjid untuk persiapan shalat Tarawih. Uniknya jika di daerah lain umumnya setelah shalat Isya langsung dilanjutkan dengan ceramah ataupun shalat tarawih, namun di masjid Darussalam desa Dataran Hijau justru terlebih dahulu diadakan musyawarah bersama. Musyawarah ini untuk menentukan berapa jumlah rakaat shalat tarawih (11-23), dan bagaimana mekanisme shalat witir dikerjakan (2 + 1 atau langsung 3 rakaat). Setelah mendapat kesepakatan, selanjutnya adalah menentukan kapan waktu sholat untuk memudahkan masyarakat merencanakan kegiatan. Waktu sholat disini maksudnya adalah waktu sholat isya & tarawih. Disinilah keseruannya karena baru pertama kali saya menyaksikan sidang itsbat penentuan awal sholat. Sebagaian bapak-bapak awalnya ada yang mengusulkan memulai sholat pukul 19.15 WITA namun dari kalangan ibu-ibu kurang setuju karena masih repot membereskan hidangan buka puasa dan lainnya. Setelah saling mengemukakan pendapat akhirnya disepakatilah waktu pelaksanaan sholat isya dan tarawih di masjid ini pada pukul 19.30 WITA

Hidangan Sahur penuh berkah
                Untuk memulai hari pertama Ramadhan, biasanya orang-orang sudah sejak sore sibuk mempersiapkan hidangan sahur pertama. Namun bagi kami yang hidup di pelosok daerah, dapat makan sahur dengan kenyang saja adalah sebuah kesyukuran. Sahur hari pertama hanya kami lalui dengan menikmati Nasi jagung, abon + sambal dan air putih. Sebenernya kami masih punya stok mie instan dan makanan lain (ikan asin), namun kami harus berhitung untuk persiapan selama 2 bulan kedepan.
                Sedih, dan sedih banget rasanya menikmati sahur pertama dengan keadaan seperti ini. Namun ternyata keberkahan sahur itu bukan pada selezat apa hidangannya, namun seberapa besar kesyukuran kita. Meskipun hampir setiap hari hanya makan sahur dengan makan nasi jagung + abon, sambal, mie instan dan kadang-kadang sayur gedi dan paku-pakuan alhamdulillah kami semua diberi kekuatan untuk terus berpuasa Full sampai lebaran.

Bedug magrib pertama dan garam dapur
                Puasa Hari pertama akhirnya dapat juga kami tuntaskan dengan lancar hingga datang waktu berbuka. Tak ada sirup, tak ada es teh apalagi es buah. Hidangan pembuka berbuka puasa (ta’jil) yang tersaji di meja adalah kopi, pisang goreng, sambal dan garam.

                Bagi kami orang-orang jawa, agak heran mengapa ada sambal di samping pisang goreng dan ada pula garam di piring kecil. Selepas bedug magrib bergema langsung saja kami menyeruput kopi. Kami yang keheranan ada pisang goreng, sambal dan garam kemudian mengambil pisang goreng dan mencocolnya dengan garam dan membiarkan sambal tanpa tersentuh tangan.

Berbukalah dengan yang masam
                Hari kedua ramadhan, kami berbuka puasa di masjid Darussalam (Dataran Hijau). disanalah kami baru mendapat jawaban mengapa ada garam, sambal dan pisang goreng. Ternyata masyarakat disana mempunyai tradisi unik untuk berbuka puasa. Yakni sebelum memakan apapun terlebih dahulu mereka akan mengambil sedikit garam untuk sekedar ditempelkan di lidah. Setelah itu barulah mereka mengambil minuman dan atau makanan lainnya. Sementara itu, adanya sambal di samping pisang goreng adalah sebuah kelaziman di daerah sulawesi dimana mereka biasanya memakan pisang goreng dengan sambal.

                Selain tradisi mencicip garam, di Pinogu juga selalu dihidangkan bubur masam di setiap kesempatan buka bersama. Bubur ini dibuat dari beras dicampur santan. Namun jangan bayangkan rasanya adalah asam/kecut. Bubur masam sendiri mempunyai rasa gurih dan asin. Usut punya usut ternyata di daaerah ini istilah “asin” biasa dikenal dengan “masam”

Tadarus keliling, Buras dan Kustar
                Tradisi unik lain Ramadhan di Pinogu adalah  Tadarus keliling. Jika di daerah lain tadarus biasanya dilakukan bersama-sama di masjid setelah tarawih, namun di Pinogu Tadarus dilakukan secara bergilir di tiap rumah penduduk. Pada saat suatu rumah mendapat giliran, maka pemilik rumah akan mempersiapkan diri dengan menghidupkan genset, menyalakan sound system dan menyediakan berbagai macam makanan untuk orang-orang yang tadarus. Makanan yang menjadi hidangan wajib biasanya adalah buras, dan kustar (makanan ini umum ditemukan di daerah sulawesi), sedangkan hidangan khas Gorontalo yang bisanya tersaji adalah milu siram dan ilabulo. serta tidak ketinggalan tentunya ditemani mantapnya kopi pinogu.

                Bagi yang belum tahu, buras adalah sejenis lontong/arem-arem yang terbuat dari beras dan santan dan dinikmati dengan sambal santan kental. Sedangkan kustar adalah sejenis puding yang dibuat dari tepung custard + irisan jagung manis. Sementara milu siram adalah jagung dan ikan/ayam yang disiram dengan santan + ampasnya. Sedangkan ilabulo adalah makanan dari tepung singkong (tapioka) dicampur dengan daging ayam.

Puting Beliung buka bersama.
                Selain buka bersama di masjid, biasanya kami mendapat undangan buka puasa bersama di rumah warga. Buka puasa pertama adalah di rumah pak mantri. Beliau adalah petugas kesehatan yang ditugaskan di puskesmas pinogu sebelum diangkat sebagai PNS. Dua orang tenaga kesehatan ini berasal dari Solo, meskipun sudah menjadi dokter umumnya masyarakat memanggil mereka sebagai pak mantri.

                Sore itu kami mendapat undangan buka puasa di kediaman beliau berdua. meskipun salah satu dari mereka adalah nasrani, mereka mengundang kami untuk berbuka puasa sekaligus sebagai silaturahmi antar perantau. Di kediaman pak mantri yang kebetulan baru kembali dari kota inilah, untuk pertama kalinya setelah berhari-hari kami menjumpai makanan jawa seperti tahu, tempe dan sayur bening. Keinginan kami untuk menikmati hidangan itu serasa tak terbendung. Dengan hitungan beberapa detik hampir semua masakan di meja habis kami sikat seperti layaknya angin puting beliung menyikat habis jalur yang dilauluinya. Pak mantri hanya terseyum melihat tingkah kita yang seperti orang kelaparan berbulan-bulan. Sementara kita hanya menertawakan tingkah konyol diri kita yang serasa baru saja mendapat hidangan surga.

Tumbilotohe, Gemerlap cahaya di kecamatan tanpa listrik
                Pada tahun 2013, kecamatan Pinogu masih belum teraliri listrik PLN. Listrik genset hanya ada di kantor kecamatan atau rumah orang-orang berada. Sementara mayoritas lainnya hanya mengandalkan 2 boah bola lampu dari panel surya Solar Home System (SHS) yang beberapa bahkan sudah mulai rusak. Beruntung di kecamatan ini kabarnya sekarang sudah dimulai proyek listrik tenaga surya secara terpusat.

                Menjelang 3 Hari terakhir bulan Ramadhan, terlihat pemandangan sibuk di sepanjang jalan. Masyarakat mempersiapkan pernak pernik (kaliusu) untuk mempatkan lentera di sepanjang jalan. Tidak lorong ada jalan yang luput dari penerangan lentera ini. Pada malam 3 hari terakhir bulan Ramadhan, lentera dinyalakan dari magrib hingga menjelang shubuh. Tradisi ini dinamakan Tumbilotohe

                Menurut tokoh masyarakat setempat, tradisi ini awalnya adalah untuk memberikan penerangan kepada masyarakat yang hendak menuju masjid untuk beribadah selama bulan ramadhan. Namun saat ini tradisi ini hanya dilakukan pada 3 hari terakhir bulan ramadhan sekaligus untuk merayakan hari kemenangan.

Lebaran di kampung orang
                Sebulan berpuasa tibalah hari lebaran. Lokasi yang jauh dari kota membuat kita mempersiapkan lebaran dengan seadanya. tanpa baju baru tanpa gadget baru. Namun tidak dengan masyarakat disana, meskipun dalam kondisi keterbatasan dan jauh dari kota mereka tetap antusias menyambut Hari Lebaran. Berbagai kue kering aneka rasa terhidang di meja, di hari kemenangan inilah akhirnya aku dapat menikmati segaranya sirup marjan.

                Lebaran di pinogu di pusatkan di kecamatan. Setelah masing-masing desa menyelesaikan shalat idul fitri, semua tokoh masyarakat, agama dan adat dan beberapa warga berkumpul di kantor kecamatan untuk melakukan do’a bersama  kemudian ditutup dengan saling bersalaman. Setelah itu barulah tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah di lakukan.

                Lebaran hari pertama di Pinogu diwarnai dengan hujan cukup lebat di malam harinya. Setelah lelah bersilaturahmi, malam harinya kemudian saya menuju kantor kecamatan untuk menelpon keluarga. Sebelumnya telpon di pagi hari setelah shalat id tidak efektif karena banyaknya orang yang ingin menelepon sedangkan jaringan telepon terbatas hanya 15 panggilan dalam satu waktu. Di tengah hujan yang masih sedikit deras saya menuju kantor kecamatan  untuk menelepon keluarga, rasa sedih seakan berpelukan dengan hujan yang tak kunjung reda. Untuk pertama kalinya lah saat itu saya melewatkan lebaran bersama keluarga.

Ramadhan dan kehidupan di pinogu mengajarkan semuanya.. kesabaran, perjuangan, toleransi, kebersamaan, dan keikhlasan.. Terimakasih telah berbagi pengalaman mewah ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar