Berbicara Kebangkitan Nasional tidak bisa lepas dari perjuangan H.Samanhudi,
Lahir di desa Sukondoro (Karanganyar, Solo) 1868 sebagai seorang anak dari
pengusaha batik di Laweyan H.Muhammad Zain. Samanhudi kecil menamatkan
pendidikan rendahnya di sekolah bumi putra kelas dua. Sejak kecil beliau sudah
membantu ayahnya berdagang batik, hingga kemudian pada usia 20 tahun beliau
dapat mendirikan perusahaan batik sendiri dengan keuntungan rata-rata yang
pernah didapat mencapai 800 gulden perhari atau mencapai sekitar 24.000 gulden
per bulan, padahal pada waktu itu gaji seorang bupati hanya 1000 gulden/bulan.
Pada tahun 1904 Samanhudi menunaikan Ibadah Haji di Makkah, sepulang
dari Makkah beliau menggalang solidaritas produsen batik di laweyan dengan
mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) 16 Oktober 1905. Organisasi ini bermula
ketika H.Samanhudi melihat persaingan yang tidak sehat antara Produsen batik pribumi
dan Produsen batik China. Salah satunya menurut J.S. Furnivall, Saat itu
produsen batik China yang mempunyai modal besar menggunakan kain impor
(cambits) sehingga mengalahkan pamor batik berbahan kain lokal (tenun) keadaan
ini memaksa produsen batik pribumi harus membeli kain impor dari pedangang
china yang tentunya sangat menguntungkan pedangan China. Selain itu juga adanya
perlakuan diskriminatif dari pemerintah Belanda yang memberikan perlakuan
khusus bagi pedangang China. pedangang China dijadikan sebagai mitra spesial
dengan berbagai kemudahan-kemudahan dalam menjalankan usaha dan perdagangan.
keadaan ini membuat persaingan yang semakin tidak seimbang antara Pedangang
(Produsen batik) lokal dengan pedangang China.
Bermula dari solidaritas produsen batik ini, selanjutnya merambah
pada solidaritas pedangang yang semakin luas. H.Sumanhudi pula-lah yang
mengundang R.M Tirtoadisuro pada tahun 1909 untuk datang ke Laweyan yang
selajutnya mendirikan perhimpunan serupa di Bogor dan Jakarta pada tahun 1911.
Perkembangan SDI yang semakin cepat dan merambah ke berbagai daerah membuat
pihak pedangang China mulai khawatir. Pada tahun 1911 di Solo, Para pedangan
China mendirikan perhimpunan “Kong Zhi” dengan anggota dari pedangang China dan
Pribumi akan tetapi dalam perkembangannya pedangang Pribumi lebih memilih
hijrah dan bergabung dengan SDI.
Tidak hanya membuat pedagang China khawatir, Pemerintah Belanda
juga merasa ketar-ketir dengan semangat solidaritas nasional yang bermula dari
produsen batik yang dengan cepat menyebar ke seantero negeri. SDI secara
politik dinilai berbahaya terhadap eksistensi pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia. Puncaknya SDI dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab dibalik pemogokan
pekerja dan kerusuhan di perkebunan Krapyak sehingga membuat pemerintah Hindia
Belanda mengambil tindakan untuk membekukan kegiatan SDI. Kemudian pada tanggal
26 Agustus 1912 pembekuan tadi dicabut dengan syarat Anggaran dasarnya harus
dirubah serta membatasi kegiatannya pada Wilayah Surakarta saja.
Sebelum Pembekuan itu dicabut SDI mendapatkan figur baru dari sosok
HOS Cokroaminito seorang yang bergabung dengan SDI pada bulam Mei 1912 atas
ajakan dari H.Samanhudi. Tanpa memperdulikan persyaratan Residen Surakarta yang
membatasi kegiatan SDI pada wilayah surakarta saja, HOS Cokroaminoto kemudian
mengembangkan Anggaran Dasar SDI agar tidak hanya terbatas pada bidang Ekonomi
tetapi juga merambah pada bidang Politik. Anggaran Dasar ini kemudian disahkan
dengan akta notaris di Surabaya pada 10 September 1912 dengan menghapus kata
“Dagang” sehingga menjadi Serikat Islam (SI), Serta mengangkat HOS Cokroaminito
sebagai Pemimpinya
Pada Kepemimpinan Cokroaminoto SI semakin berkembang, pada kongres
pertamanya di Surabaya 26 Januari 1913 dihadiri wakil-wakil dari 10 Cabang
dengan jumlah partisipan 8000-10.000, dan jumlah anggota sekitar 80.000 orang.
Pada kongres ini ditekankan bahwa kegiatan organisasi bersifat menyeluruh
berlaku untuk segenap pelosok tanah Air. Selanjutnya pada kongres Nasional di
Bandung tahun 1916 dihadiri 80 cabang SI dengan sekitar 860.000 anggota, dan
puncaknya pada kongres Nasional di Surabaya tahun 1919 dihadiri 83 cabang
dengan 2,5 juta anggota. Pada masa itu SI menjadi kekuatan besar sekaligus
pelopor gerakan politik Islam sebagai perlawanan terhadap pemerintah Hindia
Belanda.
Seiring perkembangan SI yang semakin pesat, kepopuleran H.Samanhudi
justru semakin menurun. Pada tahun 1920 karena kesehatannya yang semakin terganggu
H.Samanhudi tidak aktif lagi dalam kepnegurusan SI, Selain itu usaha batiknya
pun lambat laun mulai menyurut. Namun tidak untuk perjuangannya, pada masa
kemerdekaan H.Samanhudi tercatat mendirikan Barisan pemberotak Indonesia cabang
Solo dan Gerakan Persatuan Pancasila Serta Laskar Gerakan Kesatuan Alap-Alap
untuk mengahadapi tekanan dan ancaman serangan prajurit Belanda pada agresi
militer 1 dan 2.
H.Samanhudi wafat di Klaten pada 28 Desember 1956 dan dimakamkan di
desa Banaran Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Melalui SK
Presiden RI No.590 Tahun 1961, tanggal 9 November 1961, atas jasa-jasa dan
perjuangannya beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar