Sabtu, 23 Juli 2016

MEREKA YANG MEMILIH MENEPI


“Mangrove Lestari, Pantura Berseri”, Sebuah kalimat di Banner Pelatihan Fasilitator Program Rehabilitasi Ekosistem Pesisir (Pro-Pesisir) Kementrian Kelautan Perikanan menyambut kami di sebuah ruang meeting hotel bintang tiga tidak jauh dari  pusat Jakarta. Saya tak pernah membayangkan akhirnya duduk di salah satu kursi ruangan ini dan mengikuti kembali pelatihan kefasilitatoran.

Fasilitator, jika didefinisikan sebagai sebuah profesi tidak pernah terlintas dalam list mimpi-mimpi. Sejak secara tidak terencana memutuskan masuk di Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang kemudian membuat saya lebih tertarik mengamati dinamika perkotaan khusunya penataan ruang, saya membayangkan di kemudian hari duduk di salah satu gedung tinggi di Jakarta, menatap layar komputer dan mengotak-atik tata ruang kota, merencanakan pusat kegiatan dan pelayanan maupun kawasan pariwisata.

Ketika pengalaman Kuliah Kerja Lapangan (KKL) I akhirnya membawa saya ke pantai utara jawa (Semarang) untuk mengkaji bentang lahan dan pemanfaatannya, saya lebih tertarik melihat kawasan Industri dan aktivitas keluar masuk kendaraan di sekitar pelabuhan Tanjung Emas, dibanding mengamati banjir rob, mangrove yang rusak dan fenomena reklamasi di sekitar kawasan pantai Marina. Kecuali pantai marina, saya tertarik mengkaji perencanaan permukiman dan pariwisatanya.

Pun ketika akhirnya ketika Kuliah Kerja Lapangan II secara diacak saya tergabung dalam kelompok Perikanan untuk pengukuran kawasan potensial di Kabupaten Cilacap, awalnya sempat membuat saya sedikit bertanya heran, apa hubungan dan urgensinya ilmu geografi mengkaji perikanan?. Ketika kegiatan berlangsung pun akhirnya saya lebih suka mengkaji persebaran tempat pelelangan Ikan, pelabuhan, dermaga, mengamati pantai teluk penyu yang sepi, dan kemudian menghasut kawan-kawan untuk untuk mencari ikan hias, sekaligus berwisata menengok sisi lain keindahan pulau Nusa Kambangan.

Tahun 2013 setelah mengikuti Kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah desa terpencil tengah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Gorontalo, kami melepas penat menikmati masa pembebasan dari kurungan lebatnya hutan TNBNW dengan berwisata di  Pantai Olele Gorontalo, serta Taman Nasional Bunaken Manado. Disanalah, dari sekedar aktivitas snorkling saya  mulai mencintai keindahan Laut.

Hampir dua tahun berselang dari kegiatan di Gorontalo dan Manado, sebuah pesan nostalgia di group KKN kembali mengingatkan akan indahnya terumbu karang dan biota laut di pantai Olele maupun Bunaken. Di Group lain ada pengumuman rekruitemen fasilitator di Pulau-pulau kecil. Saya membayangkan seperti akan menarik melakukan pendampingan di pulau-pulau kecil sekaligus melepaskan penat membaca berita negeri yang semakin kacau dan perang status di Facebook yang tidak berkesudahan.

Singkat cerita, saya pun diterima dan mulai bertugas sebagai fasilitator pulau-pulau kecil terluar sebuah program hasil kerjasama Kementrian Kelautan dan Perikanan, DFW Indonesia dan Endev (GIZ). Jauh di luar bayangan, menjadi fasilitator di pulau-pulau kecil ternyata memang penuh tantangan. Mulai dari harus terbiasa menerjang gelombang besar, beradaptasi dengan makanan baru, bertemu dengan orang-orang baru dengan perbedaan bahasa, warna kulit, budaya, kebiasaan, agama hingga cara berpikir dan bertindak ternyata sama sekali buka sesuatu yang mudah.

Meskipun penuh tantangan dan tekanan, saya tidak  bisa berbohong kalau pekerjaan ini memang terlalu mengasyikan. Pengalaman hidup dan tinggal bersama masyarakat di pulau-pulau kecil dengan segala dinamikanya merupakan sesuatu yang akhirnya saya sadari teramat mewah yang tidak semua orang bisa merasakan. Namun saya juga tidak berbohong kalau ada pekerjaan lain selain terpisah dari orang-orang tercinta, dan kampung halaman tentu saya akan memilih pekerjaan itu.

“Apa yang kau tak suka belum tentu tak baik bagimu” entah sebuah pepatah darimana asalnya, namun benar begitu adanya. Selepas mengikuti kegiatan pendampingan di pulau-pulau kecil saya kembali mencoba mengejar mimpi mencari lahan untuk mengaplikasikan teori-teori dan praktik-praktik yang saya dapatkan di bangku kuliahan. Namun Tuhan berkehendak lain, sebuah tawaran kegiatan kefasilitatoran kembali menghampiri. Kali ini bukan di pulau-pulau kecil, namun di kawasan pesisir di pantai utara jawa. sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman saya, dan tidak terlalu jauh pula dari seseorang yang sedang saya perjuangkan.

Rabu 20 Juni, Pelatihan kefasilitatoran kembali aku ikuti. Di salah satu tempat duduk yang ditata melingkar terlihat wajah-wajah baru, wajah-wajah optimis para pejuang yang akan mengabdikan diri untuk vegetasi pesisir dan mangrove di pantai utara jawa. Dan saya bangga dapat duduk diantara mereka. Orang-orang langka yang memilih meninggalkan kenyamanan, memilih menepi, hidup memfasilitasi masyarakat untuk “Mangrove Lestari, Pantura Berseri”.


@mz_syams, 

Minggu, 03 Juli 2016

Ramadhan di Pedalaman Gorontalo (Pinogu)

Tak terasa, dalam hitungan beberapa jam Ramadhan 1437H akan segera berakhir. Tak terasa pula bahwa kejombloan ini belum juga berakhir (Apasih, abaikan wkwk). Ada banyak kisah di Ramadhan ini yang hendak aku bagi. Namun pesan whatsapp di group KKN membuatku memutuskan menulis kisah ini. Sebuah momen ramadhan yang baru pertama kali aku alami, di sebuah tempat di pedalaman Gorontalo, mereka menyebutnya PINOGU.


Pinogu adalah sebuah kecamatan di pedalaman Gorontalo, tepatnya di tengah kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bone Bolango. Juli 2013, akses menuju Pinogu masih sangat butuh perjuangan. Kecamatan Pinogu hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan ojek dengan ongkos 500rb sekali jalan. Karena ingin mencoba tantangan baru (sebenernya karena keterbatasan dana) untuk menuju Pinogu kami memutuskan untuk Hiking (berjalan kaki). Waktu tempuh dari starting poin Kecamatan Suwawa Timur menuju Kecamatan Pinogu dengan berjalan kaki normalnya adalah 8-12 jam. Namun sebagai pemula beberapa orang diantara kami baru dapat mencapai pinogu setelah 16 Jam (07.30 – 23.30) itupun melalui berbagai insiden seperti kram, tertahan di tengah hutan, kehabisan air minum dll.

Misi kami bersusah-susah datang ke Pinogu adalah dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama kurang lebih 2 bulan lamanya. Kedatangan kami saat itu hanya beberapa hari sebelum Ramadhan sehingga otomatis kami harus menjalani Full Ramadhan sekaligus lebaran di lokasi KKN, sebuah keadaan yang awalnya tidak sempat saya bayangkan.

Memulai Ramadhan di Dataran Hijau
                Tidak ada persiapan yang ribet menjalani Ramadhan di tempat ini. Sebelum Ramadhan kami hanya berkumpul di kantor kecamatan untuk membahas program KKN dan Ramadhan di masing-masing desa sekaligus berkoordinasi dengan Pemerintah setempat dan rekan-rekan IP2MP (Ikatan Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Pinogu).

                Seusai mendapat kepastian hari dimulainya Ramadhan, seperti biasa masyarakat berkumpul memadati Masjid untuk persiapan shalat Tarawih. Uniknya jika di daerah lain umumnya setelah shalat Isya langsung dilanjutkan dengan ceramah ataupun shalat tarawih, namun di masjid Darussalam desa Dataran Hijau justru terlebih dahulu diadakan musyawarah bersama. Musyawarah ini untuk menentukan berapa jumlah rakaat shalat tarawih (11-23), dan bagaimana mekanisme shalat witir dikerjakan (2 + 1 atau langsung 3 rakaat). Setelah mendapat kesepakatan, selanjutnya adalah menentukan kapan waktu sholat untuk memudahkan masyarakat merencanakan kegiatan. Waktu sholat disini maksudnya adalah waktu sholat isya & tarawih. Disinilah keseruannya karena baru pertama kali saya menyaksikan sidang itsbat penentuan awal sholat. Sebagaian bapak-bapak awalnya ada yang mengusulkan memulai sholat pukul 19.15 WITA namun dari kalangan ibu-ibu kurang setuju karena masih repot membereskan hidangan buka puasa dan lainnya. Setelah saling mengemukakan pendapat akhirnya disepakatilah waktu pelaksanaan sholat isya dan tarawih di masjid ini pada pukul 19.30 WITA

Hidangan Sahur penuh berkah
                Untuk memulai hari pertama Ramadhan, biasanya orang-orang sudah sejak sore sibuk mempersiapkan hidangan sahur pertama. Namun bagi kami yang hidup di pelosok daerah, dapat makan sahur dengan kenyang saja adalah sebuah kesyukuran. Sahur hari pertama hanya kami lalui dengan menikmati Nasi jagung, abon + sambal dan air putih. Sebenernya kami masih punya stok mie instan dan makanan lain (ikan asin), namun kami harus berhitung untuk persiapan selama 2 bulan kedepan.
                Sedih, dan sedih banget rasanya menikmati sahur pertama dengan keadaan seperti ini. Namun ternyata keberkahan sahur itu bukan pada selezat apa hidangannya, namun seberapa besar kesyukuran kita. Meskipun hampir setiap hari hanya makan sahur dengan makan nasi jagung + abon, sambal, mie instan dan kadang-kadang sayur gedi dan paku-pakuan alhamdulillah kami semua diberi kekuatan untuk terus berpuasa Full sampai lebaran.

Bedug magrib pertama dan garam dapur
                Puasa Hari pertama akhirnya dapat juga kami tuntaskan dengan lancar hingga datang waktu berbuka. Tak ada sirup, tak ada es teh apalagi es buah. Hidangan pembuka berbuka puasa (ta’jil) yang tersaji di meja adalah kopi, pisang goreng, sambal dan garam.

                Bagi kami orang-orang jawa, agak heran mengapa ada sambal di samping pisang goreng dan ada pula garam di piring kecil. Selepas bedug magrib bergema langsung saja kami menyeruput kopi. Kami yang keheranan ada pisang goreng, sambal dan garam kemudian mengambil pisang goreng dan mencocolnya dengan garam dan membiarkan sambal tanpa tersentuh tangan.

Berbukalah dengan yang masam
                Hari kedua ramadhan, kami berbuka puasa di masjid Darussalam (Dataran Hijau). disanalah kami baru mendapat jawaban mengapa ada garam, sambal dan pisang goreng. Ternyata masyarakat disana mempunyai tradisi unik untuk berbuka puasa. Yakni sebelum memakan apapun terlebih dahulu mereka akan mengambil sedikit garam untuk sekedar ditempelkan di lidah. Setelah itu barulah mereka mengambil minuman dan atau makanan lainnya. Sementara itu, adanya sambal di samping pisang goreng adalah sebuah kelaziman di daerah sulawesi dimana mereka biasanya memakan pisang goreng dengan sambal.

                Selain tradisi mencicip garam, di Pinogu juga selalu dihidangkan bubur masam di setiap kesempatan buka bersama. Bubur ini dibuat dari beras dicampur santan. Namun jangan bayangkan rasanya adalah asam/kecut. Bubur masam sendiri mempunyai rasa gurih dan asin. Usut punya usut ternyata di daaerah ini istilah “asin” biasa dikenal dengan “masam”

Tadarus keliling, Buras dan Kustar
                Tradisi unik lain Ramadhan di Pinogu adalah  Tadarus keliling. Jika di daerah lain tadarus biasanya dilakukan bersama-sama di masjid setelah tarawih, namun di Pinogu Tadarus dilakukan secara bergilir di tiap rumah penduduk. Pada saat suatu rumah mendapat giliran, maka pemilik rumah akan mempersiapkan diri dengan menghidupkan genset, menyalakan sound system dan menyediakan berbagai macam makanan untuk orang-orang yang tadarus. Makanan yang menjadi hidangan wajib biasanya adalah buras, dan kustar (makanan ini umum ditemukan di daerah sulawesi), sedangkan hidangan khas Gorontalo yang bisanya tersaji adalah milu siram dan ilabulo. serta tidak ketinggalan tentunya ditemani mantapnya kopi pinogu.

                Bagi yang belum tahu, buras adalah sejenis lontong/arem-arem yang terbuat dari beras dan santan dan dinikmati dengan sambal santan kental. Sedangkan kustar adalah sejenis puding yang dibuat dari tepung custard + irisan jagung manis. Sementara milu siram adalah jagung dan ikan/ayam yang disiram dengan santan + ampasnya. Sedangkan ilabulo adalah makanan dari tepung singkong (tapioka) dicampur dengan daging ayam.

Puting Beliung buka bersama.
                Selain buka bersama di masjid, biasanya kami mendapat undangan buka puasa bersama di rumah warga. Buka puasa pertama adalah di rumah pak mantri. Beliau adalah petugas kesehatan yang ditugaskan di puskesmas pinogu sebelum diangkat sebagai PNS. Dua orang tenaga kesehatan ini berasal dari Solo, meskipun sudah menjadi dokter umumnya masyarakat memanggil mereka sebagai pak mantri.

                Sore itu kami mendapat undangan buka puasa di kediaman beliau berdua. meskipun salah satu dari mereka adalah nasrani, mereka mengundang kami untuk berbuka puasa sekaligus sebagai silaturahmi antar perantau. Di kediaman pak mantri yang kebetulan baru kembali dari kota inilah, untuk pertama kalinya setelah berhari-hari kami menjumpai makanan jawa seperti tahu, tempe dan sayur bening. Keinginan kami untuk menikmati hidangan itu serasa tak terbendung. Dengan hitungan beberapa detik hampir semua masakan di meja habis kami sikat seperti layaknya angin puting beliung menyikat habis jalur yang dilauluinya. Pak mantri hanya terseyum melihat tingkah kita yang seperti orang kelaparan berbulan-bulan. Sementara kita hanya menertawakan tingkah konyol diri kita yang serasa baru saja mendapat hidangan surga.

Tumbilotohe, Gemerlap cahaya di kecamatan tanpa listrik
                Pada tahun 2013, kecamatan Pinogu masih belum teraliri listrik PLN. Listrik genset hanya ada di kantor kecamatan atau rumah orang-orang berada. Sementara mayoritas lainnya hanya mengandalkan 2 boah bola lampu dari panel surya Solar Home System (SHS) yang beberapa bahkan sudah mulai rusak. Beruntung di kecamatan ini kabarnya sekarang sudah dimulai proyek listrik tenaga surya secara terpusat.

                Menjelang 3 Hari terakhir bulan Ramadhan, terlihat pemandangan sibuk di sepanjang jalan. Masyarakat mempersiapkan pernak pernik (kaliusu) untuk mempatkan lentera di sepanjang jalan. Tidak lorong ada jalan yang luput dari penerangan lentera ini. Pada malam 3 hari terakhir bulan Ramadhan, lentera dinyalakan dari magrib hingga menjelang shubuh. Tradisi ini dinamakan Tumbilotohe

                Menurut tokoh masyarakat setempat, tradisi ini awalnya adalah untuk memberikan penerangan kepada masyarakat yang hendak menuju masjid untuk beribadah selama bulan ramadhan. Namun saat ini tradisi ini hanya dilakukan pada 3 hari terakhir bulan ramadhan sekaligus untuk merayakan hari kemenangan.

Lebaran di kampung orang
                Sebulan berpuasa tibalah hari lebaran. Lokasi yang jauh dari kota membuat kita mempersiapkan lebaran dengan seadanya. tanpa baju baru tanpa gadget baru. Namun tidak dengan masyarakat disana, meskipun dalam kondisi keterbatasan dan jauh dari kota mereka tetap antusias menyambut Hari Lebaran. Berbagai kue kering aneka rasa terhidang di meja, di hari kemenangan inilah akhirnya aku dapat menikmati segaranya sirup marjan.

                Lebaran di pinogu di pusatkan di kecamatan. Setelah masing-masing desa menyelesaikan shalat idul fitri, semua tokoh masyarakat, agama dan adat dan beberapa warga berkumpul di kantor kecamatan untuk melakukan do’a bersama  kemudian ditutup dengan saling bersalaman. Setelah itu barulah tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah di lakukan.

                Lebaran hari pertama di Pinogu diwarnai dengan hujan cukup lebat di malam harinya. Setelah lelah bersilaturahmi, malam harinya kemudian saya menuju kantor kecamatan untuk menelpon keluarga. Sebelumnya telpon di pagi hari setelah shalat id tidak efektif karena banyaknya orang yang ingin menelepon sedangkan jaringan telepon terbatas hanya 15 panggilan dalam satu waktu. Di tengah hujan yang masih sedikit deras saya menuju kantor kecamatan  untuk menelepon keluarga, rasa sedih seakan berpelukan dengan hujan yang tak kunjung reda. Untuk pertama kalinya lah saat itu saya melewatkan lebaran bersama keluarga.

Ramadhan dan kehidupan di pinogu mengajarkan semuanya.. kesabaran, perjuangan, toleransi, kebersamaan, dan keikhlasan.. Terimakasih telah berbagi pengalaman mewah ini

Sabtu, 02 Juli 2016

Nuhuta, Pulau Surga Penuh Misteri dan Pesona

Selepas menikmati makan sahur seperti biasa saya membuka HP, mengecek satu persatu obrolan di Whatsapp maupun BBM. Di salah satu group (PRAKARSA) tempat saya dan rekan lainnya pernah mengabdikan diri di pulau-pulau kecil, ada yang membagi info tentang Anugrah Pesona Indonesia (API) Sebuah penganugrahan bergengsi dari Kementrian Pariwisata bagi dunia pariwisata di Indonesia. tak disangka, Kepulauan Kei tempat dimana tahun lalu saya pernah singgah cukup lama dinobatkan sebagai nominasi “Surga Tersembunyi Terpopuler” bersanding dengan Pulau Maratua, Pulau Anambas, Pulau Berhala dan 6 pulau surga lainnya. Klik Selengkapnya

Kepulauan Kei terletak jauh di sebelah tenggara kepulauan Maluku memang belum begitu familiar, saya pun baru mengetahui letak persisinya kepulauan ini pada tahun 2013. Naif, Sebelumnya saya justru baru mengetahui kepulauan surga ini lewat kiprah John Refra atau yang akrab disapa John Kei seorang preman kelas kakap yang kini mendekam di Nusa Kambangan.

Kepulauan Kei memang menyingkap banyak keindahan alami yang masih belum banyak terjamah wisatawan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pulau Nuhuta. Inilah salah satu pulau paling Indah di antara gugusan kepulaun Kei Maluku Tenggara.


Pulau Nuhuta terletak di bagian tenggara kepulauan Kei. Pulau ini berjarak sekitar 1 jam perjalanan speedboat dari Pelabuhan Debut Maluku Tenggara. Jika ditempuh menggunakan kapal motor aka jauh lebih lama lagi sekitar 3-4 jam. namun tidak usah khawatir, sepanjang perjalanan kita bisa menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau kei kecil, Ngurtavur (pasir timbul) serta diiringi lumba-lumba yang timbul tenggelam seakan mengawal jalannya kapal.


Pulau nuhuta berasal dari bahasa kei yang jika diartikan berarti pulau kelapa (Nuhu: Pulau, Ta: Kelapa). Pulau ini termasuk dalam petuanan adat Tanimbar Kei dan merupakan kebun kelapa bagi masyarakatnya. Pulau ini tidak berpenduduk dan hanya dibuka 3-4 kali setahun bersamaan dengan musim panen kelapa dan musim panen telur ikan terbang.

Eksotisme pulau Nuhuta
                Pulau Nuhuta merupakan pulau berpasir putih yang cukup halus. Perairan diwaktu musim timur sangat tenang dan teduh. Namun ketika musim barat, deburan ombak yang menerjang pasir putihnya juga cukup menawan. Saking indahnya pulau ini, konon putra mendiang Soeharto (Tommy Suharto) pernah sudah mengakavling pulau ini untuk dijadikan pulau pribadi.


                Pada saat musim angin timur, pulau ini menjadi persinggahan masyarakat untuk memanen buah kelapa dan para pelaut bugis yang mencari ikan terbang.


                Pulau ini di dominasi vegetasi buah kelapa. Banyak terdapat kelapa “kenari” di pulau ini. Kelapa kenari merupakan kelapa dengan rasa air yang menyegarkan (sensasi sprite) dan daging buah yang kenyal.

Orang-orang islam yang menghilang di Pulau Nuhuta



Selain sebagai pulau kelapa, pulau ini juga dikenal sebagai pulau muslim. Penduduk Tanimbar Kei secara turun temurun percaya bahwa pada dahulu kala ada rombongan orang islam yang terdampar di pulau ini dan kemudian menghilang. Mereka percaya, rombongan tersebut kemudian menjelma menjadi tikus dan biawak yang kemudian menghuni pulau nuhuta hingga kini. Oleh karenanya membunuh hewan-hewan tersebut di pulau ini adalah sesuatu yang sangat diharamkan.

Sebagai “pulau muslim”, penduduk Tanimbar Kei yang yang umumnya masih beragama Hindhu sangat menghormati keberadaan pulau ini. Mereka memperlakukan pulau ini layaknya sebuah daerah yang berpenghuni orang-orang Islam. kepercayaan di masyarakat menyebutkan berbagai pantangan untuk dilakukan di pulau ini. Diantaranya adalah membawa babi, membawa mayat, melakukan hubungan suami istri dan melakukan aktivitas pekerjaan di waktu sholat.

Ramadhan di Pulau Nuhuta

                Ramadhan tahun lalu (2015) saya sempat menginap di pulau ini dikarenakan tidak memungkinkan untuk melajutkan perjalanan ditengah gelombang yang masih besar. Pada bulan Ramadhan masyarakat tanimbar kei percaya bahwa para penghuni pulau ini juga berpuasa. Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa menjelang buka puasa biasanya tercium bau harum masakan, sedangkan beberapa yang lainnya mengaku mendengar suara adzan dan suara orang-orang sedang mengaji. Semakin penasaran saja saya pulau ini.

                Menginap di di pesisir pulau nuhuta, membuat saya sangat merasa kedinginan. Apalagi kami hanya tidur di pondok yang yang ditutupi daun kelapa. Hingga hampir tengah malam mata ini enggan terpejam. Sekitar jam 4, Pak Kores Rahanmitu (Kades sekaligus tokoh adat tanimbar kei) membangunkan saya untuk makan sahur. Selepas makan sahur, ditemani pak kepala desa dan beberapa warga kami ngobrol-ngobrol tentang pulau ini. Dan benar saja, sekitar jam 4.30 WIT sayup-sayup saya mendengar suara adzan dari kejauhan.

Saya semakin merinding ditengah angin pesisir yang memang sudah dingin. Warga mencoba menenangkan saya yang mulai ketakutan, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah wajar, apalagi bagi orang yang pertama kali ke pulau ini. Istilahnya “perkenalan”. Suasana waktu itu begitu hening, warga menyampaikan bahwa pulau ini akan tetap hening sampai adzan dan aktifitas sholat selesai. Dan benar saja sekitar pukul 5.30 secara serentak burung-burung bersahutan.  “Nah itu mas, mereka sudah selesai sholat, kami sekarang sudah dapat bekerja”.

Keadaan hening di pulau nuhuta dipercaya hanya ada ketika waktu sholat. Pada waktu-waktu sholat masyarakat dilarang beraktivitas. Apabila tetap beraktivitas biasanya alat yang mereka gunakan akan rusak, bahkan golok pun akan menjadi tumpul.

Berwisata Ke Pulau Nuhuta

Meskipun pulau ini menyimpan berbagai pesona, sayangnya pulau hanya dibuka pada saat-saat tertentu. sebagai wisatawan yang baik hendaknya kita menghormati tradisi/peraturan setempat. bagi anda yang hendak singgah/berwisata di pulau ini hendaknya terlebih dahulu berkomunikasi dengan aparat desa/tokoh adat tanimbar kei dikarenakan status pulau ini yang masuk dalam petuanan adat. secara adat pulau ini disasi (ditutup) dan memang hanya dibuka pada saat-saat tertentu saja.