KESETARAAN GENDER DAN MDGs
Kesetaraan Gender dan pemberdayaan perempuan (gender equality and empowering women) merupakan salah satu isu penting dalam Sasaran Pembangunan Milennium (Milenninum Development Goals/MDGs) sebagai hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, bersama 7 butir tujuan lainnya untuk dicapai pada tahun 2015. MDGs sendiri berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.
Mendorong Kesetaraan Gender dan pemberdayaan perempuan merupakan tujuan ketiga dengan target Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 (Eliminate gender disparity in primary and secondary education preferably by 2005, and at all levels by 2015) adapun indikator pencapaian target tersebut adalah:
- Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki.
- Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender).
- Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan.
- Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan.
- Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan non-Pertanian.
- Tingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) pada kelompok perempuan.
- Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Dalam bidang pendidikan, secara umum bisa dikatakan tidak ada kesenjangan gender dalam akses pendidikan di Indonesia. hal ini ditunjukan dengan nilai APM (angka Partisipasi Murni) anak perempuan terhadap anak laki-laki untuk sekolah menengah atas (SMA) mencapai rata-rata 99,07 persen (2002-2006), tingkat pendidikan tinggi (PT) mencapai 97,24 persen (2003-2006) sedangkan untuk tingkat SMP pada tahun 1992-2000 mencapai 104,2 persen dan 100,3 persen pada tahun 2002-2006
Permasalahan kesenjangan gender di Indonesia lebih di dominasi pada sektor ketenaga kerjaan dan proporsi dalam parlemen. pada sektor ketenaga kerjaan permasalahan yang muncul adalah adanya ketimpangan upah antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. pada sektor pekerja bebas sektor non-pertanian dengan rata-rata upah pekerja perempuan hanya sekitar 46 persen dari upah pekerja laki-laki pada Februari 2005, dan sekitar 60 persen pada Februari 2007. Sementara dalam kurun waktu yang sama, rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai perempuan sekitar 72 persen dari upah buruh/ karyawan/pegawai laki-laki, yang kemudian meningkat menjadi 75 persen. Sedangkan rata-rata upah perempuan sebagai pekerja bebas pertanian, dibandingkan dengan laki-laki, meningkat dari 55 persen menjadi 69 persen.
Pada bidang politik Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (2005), Pada periode 2004-2009 proporsi perempuan dalam lembaga legislatif hanya mencapai 11,3 persen. Jika dilihat berdasarkan provinsi, proporsi perempuan di parlemen yang tertinggi (lebih besar dari 15 persen) hanya terdapat di lima provinsi yaitu Sumatera Selatan (15,4 persen), Lampung (15,6 persen), Kalimantan Tengah (15,6 persen), Sulawesi Utara (17,8 persen), dan Sulawesi Tengah (16,3 persen).
Menurut dokumen Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2007, Saat ini dibutuhkan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan gender di seluruh bidang pembangunan. Tindakan ini harus memperhatikan kondisi perempuan yang bersifat kultural dan struktural. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat beberapa upaya yang perlu dilakukan, antara lain:
- Pertama, meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik.
- Kedua, meningkatkan taraf pendidikan dan akses serta kualitas kesehatan serta bidang pembangunan lainnya, yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan. Memperbesar akses terhadap berbagai fasilitas kesehatan dan pendidikan sehingga dapat pula meningkatkan akses taraf pendidikan, kondisi kesehatan, sumber daya dan kualitas hidup perempuan secara umum. Upaya ini perlu dilakukan dengan memberi perhatian khusus pada perempuan miskin, lansia, dan penduduk yang tinggal di daerah terpencil.
- Ketiga, memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan peng-arus-utamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Termasuk pula dalam hal ini pemenuhan komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender, serta peningkatan partisipasi masyarakat pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
RUU Kesetaraan Gender menurut pemerintah merupakan jawaban atas ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. meskipun dalam UUD 1945 telah meenjamin persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang diimplemetasikan ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain UU No 39 tahun 1999 tentang HAM yang secara khusus mengatur mengenai hak perempuan, rativikasi konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskrimanasi terhadap perempuan (Convetion of the elimination of all form discriminations againts women/ CEDAW) melalui UU No 7 tahun 1984, BPFA serta MDGs. melalui RUU ini pemerintah bermaksud menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KKG tersebut. Salah satunya adalah konsep “Kesetaraan Gender” yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut.
Kesetaraan gender berdasarkan RUU KG Bab 1, Pasal 1 ayat 2 didefinisikan sebagai "Kesamaan kondisi dan Posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan"
sementara Diskrimanasi pada ayat selanjutnya (Ayat 3) adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
masalah selanjutnya adalah adanya penyetaraan yang berlebihan antara laki-laki dan perempuan dengan mengabaikan norma2 agama sebagai dasar berenegara seperti tercermin dalam sila pertama Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
pada BAB II (Asas dan Tujuan) pada pasal 3 disebutkan bahwa kesetaraan dan keadilan gender didasarkan atas asas Kemanusiaan, Persamaan substantif, non-diskriminasi, manfaat, partisipatif, transparasi dan akuntabilitas.
sedangkan pada pasal 4 Ayat 1 disebutkan bahwa kesetaraan dan keadilan gender bertujuan untuk mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat antara perempuan dan laki-laki di semua bidang kehidupan
Dalam pengamatan saya, ada beberapa pasal yang cukup kontroversial selain beberapa pasal diatas yakni pada pasal 12 terkait perkawinan dimana hampir semuanya sangat liberal, tanpa memperhatikan UU yang sudah ada sebelumnya (UUPerkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam). diantaranya adalah pada ayat 1 a: Dalam perkawinan, setiap orang berhak:
1 a. memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secera bebas
Terkait Larangan, pada BAB VIII pasal 67 disebutkan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan dan atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu"
Selengkapnya silahkan download RUU KKG : http://www.mediafire.com/?7b2e20hn7vy24sw
KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Ketika mendiskusikan segala topik yang berhubungan dengan Islam, adalah tidak bisa dihindarkan untuk selalu merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an. Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kedudukan perempuan dalam Islam, bahkan salah satu surat dari Al-Quran disebut surat an-Nisa (perempuan).
Islam telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban bagi perempuan maupun laki-laki. Islam menetapkan hak dan kewajiban tersebut tidak lain adalah untuk kemaslahatan bagi perempuan maupun laki-laki. Ketika karakter kemanusiaan keduanya mengharuskan tidak ada perbedaan, maka Islam memberi kedudukan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Sebaliknya Islam menetapkannya berbeda ketika karakter masing-masing mengharuskannya berbeda.
Ketika berkenaan dengan hak dan kewajiban yang bersifat manusiawi (insaniyyah), yakni ketika berbagai taklif (tugas) itu merupakan taklif yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia, maka kita bisa temukan adanya kesatuan dalam berbagai hak dan kewajiban itu. Yakni berbagai taklif itu adalah satu, berlaku sama baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dari sini, kita akan menemukan bahwa, Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan ketika Islam menyeru manusia kepada keimanan. Begitu pula Islam tidak membeda-bedakan taklif untuk mengemban dakwah islam antara laki-laki dan perempuan. Islam telah menjadikan berbagai taklif yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan zakat sebagai taklif yang satu, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Islam telah menetapkan berbagai sanksi (‘uqubat) terhadap pelanggaran hukum-hukum Allah berupa sanksi hudud, jinayat, dan ta‘zir terhadap laki-laki maupun perempuan tanpa ada diskriminasi, karena keduanya dipandang sebagai manusia. Islam pun telah mewajibkan aktivitas belajar-mengajar terhadap kaum Muslim, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]:97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun Perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS an-Nisâ’ [4]: 124)
“Bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para Perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS an-Nisâ’ [4]: 32)
Namun adakalanya, Islam juga membagi hak dan kewajiban yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Disini Islam hanyalah memberikan solusi yang sesuai dengan karakter masing-masing (perempuan dan laki-laki) dan hal ini tidak lain adalah untuk kemaslahatan bersama.
Misalnya, dalam hal warisan Islam menetapkan bagian Perempuan adalah separoh dari bagian laki-laki pada keadaan tertentu.
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (QS an-Nisâ [4]: 11)
Keadaan ini terjadi dalam ‘ashobah, seperti anak laki-laki, saudara-saudara sekandung, dan saudara-saudara sebapak. Sebab, posisi Perempuan dalam keadaan semacam ini, pemenuhan nafkahnya menjadi tanggungan saudara laki-lakinya.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu Islam juga menetapkan bagian Perempuan sama dengan bagian laki-laki:
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu” (QS an-Nisâ’ [4]: 12)
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kalâlah al-ikhwah li umm[in] (orang yang meninggal tidak meninggalkan bapak, anak atau pun saudara-saudara sekandaung atau sebapak dan hanya meninggalkan saudara-saudara seibu saja). Karena pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah seorang Perempuan bukan menjadi tanggungan saudara laki-lakinya yang seibu. Sebab, meskipun saudara laki-laki seibu termasuk mahram-nya, tetapi ia tidak termasuk orang yang wajib memberikan nafkah kepadanya.
Dalam hal norma berpakaian, Islam juga telah memerintahkan agar pakaian Perempuan berbeda dengan pakaian laki-laki. Demikian pula sebaliknya, pakaian laki-laki berlainan dengan pakaian Perempuan. Islam telah melarang satu sama lain untuk saling menyerupai (tasyabbuh) dalam berpakaian, karena adanya pengkhususan atau pembedaan antar keduanya.
“Rasulullah SAW telah melaknat seorang laki-laki yang berpakaian mengenakan pakaian Perempuan dan seorang Perempuan yang berpakaian mengenakan pakaian laki-laki.” (HR al-Hâkim)
Dalam hal pernikahan, Islam memerintahkan (mewajibkan) agar laki-laki yang memberikan mahar (mas kawin) kepada perempuan. Selanjutnya dalam hidup berkeluarga Islam menetapkan bahwa urusan mencari nafkah merupakan kewajiban laki-laki (suami), namun tidak berarti perempuan tidak boleh ikut mencari nafkah. Dalam islam perempuan (Istri) juga dibolehkan untuk mencari nafkah namun tidak wajib.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS ath-Thalâq [65]: 7)
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS al baqarah [2]: 233)
Dalam hal kepemimpinan dalam rumah tangga, Islam menetapkan urusan tersebut diperuntukan bagi laki-laki (suami) Islam menetapkan para suami memiliki hak kepemimpinan, mengeluarkan perintah dan larangan. Allah SWT berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum Perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (Perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka Perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-Perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 34)
Sebaliknya, Allah SWT telah menetapkan bahwa hak mengasuh anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan ada ditangan Perempuan, sementara kaum laki-laki dilarang dari hal itu. Allah SWT juga telah menetapkan bahwa Perempuan berhak untuk mengambil sendiri nafkah anak kecil (dari harta ayahnya) jika si ayah mereka menelantarkan mereka atau berlaku kikir terhadap mereka; sementara dalam kondisi semacam ini, laki-laki dilarang untuk melakukannya. Dalam konteks ini, Hindun pernah mendatangi Rasulullah SAW, lalu berkata:
“Ya Rasulullah, sungguh Abû Sufyân seorang laki-laki yang sangat pelit.Ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ambil saja olehmu apa yang mencukupi untuk dirimu dan anakmu secara makruf”. (Muttafaq ‘alaih)
Demikianlah, Islam datang dengan membawa sejumlah hukum yang berbeda, sebagiannya khusus untuk kaum laki-laki, dan sebagian lainnya khusus untuk kaum perempuan. Namun ada pula hukum-hukum yang berlaku secara Universal (Perempuan dan laki-laki). Beberapa persamaan ataupun perbedaan hukum antar perempuan dan laki-laki tidak berarti dapat dikatakan adanya kesetaraan ataupun diskriminasi.. yang pasti peraturan islam hadir untuk membawa keadilan dan kemaslahatan bersama..
Wallahu a'lam..
Referensi:
- Al-Qur'an "Digital Versi 2.1"
- Draft RUU KKG, Timja DPR RI
- Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2007, BAPPENAS
- Sistem Pergaulan dalam Islam file from http://www.hizbut-tahrir.or.id/container/uploads/2007/12/sistem-pergaulan-dalam-islam-119-202.pdfhttp://en.wikipedia.org/wiki/Millennium_Development_Goals
- http://www.hidayatullah.com/read/21856/24/03/2012/“mengapa-kita-menolak-ruu-kesetaraan-gender-(1).html
- http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kedudukan-wanita-dalam-islam.html
- http://www.babinrohis-nakertrans.org/artikel-islam/kedudukan-wanita-dalam-islam-dan-permasalahannya
- http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=311%3Aakar-masalah-konsep-ruu-kesetaraan-gender
Tidak ada komentar:
Posting Komentar