Tulisan Ini disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Pengembangan Infrastruktur Wilayah (PIW)Program Study Pembangunan Wilayah UGMKereta Api sebagai salah satu moda transportasi massa di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat lambat jika dibading dengan moda trasportasi darat lainnya di Indonesia. Perkembangan Infrastruktur perkeretaapian pun seperti jalan di tempat bahkan mungkin mengalami kemunduran jika dibanding dengan Era sebelum kemerdekaan. Pembangunan Infrastruktur perkeretaapian di Indonesia masih sebatas pada perawatan, kurang menekankan pada pertambahan. Tak heran laporan World Competitiveness 2008-2009 hanya menempatkan Indonesia di Urutan 58 dalam daya saing Infrastruktur Jalan Kereta Api.
Sepanjang tahun 2007-2008 panjang Lintasan Kereta api hanya bertambah 0,2%
dari 4.802.547 km menjadi 4.813,000 km, atau hanya 1,6% dalam kurun waktu 2004-2008. hal ini sangat tertinggal jauh dibanding perkembangan Jalan Tol di yang pada tahun 2010-2011 mencapai 6,07%. sementara itu jumlah gerbong kereta api hanya bertambah 5,8% yaitu dari 4.840 menjadi 5.120 unit. Belum lagi jika dilihat dari segi persebaran secara inter regional dimana Infrastruktur perkeretaapian sebagian besar hanya terkonsentrai di pulau Jawa. Padahal Investasi untuk pembangunan rel sebenarmya tidak sebesar pembangunan jalan raya, karena pembangunan rel hanya membutuhkan lahan yang sedikit dan tidak merusak ekosistim lingkungan di daerah.
Dilihat dari Sarana dan prasarana perkeretaapian yang ada di Indonesia terlihat bahwa kondisnya sebagian besar sudah layak di museumkan, Jika di negara seperti Jepang dan China umur kereta api yang layak diguanakan untuk penumpang dibatasi maksimal antara 5-10 tahun, di Indonesia Umur kereta api yang sudah mencapai 25 tahun masih tetap digunakan, apalagi Lokomotif kereta yang sebagian besar lebih tua dari itu pada tahun 2008 dari 341 Lokomotif yang beroperasi 82% berumur antara 16-30 tahun. sehingga tidak heran jika banyak terjadi kecelakaan kereta api di Indonesia.
Perkembangan Stasiun di Indonesia sepertinya jalan di tempat, stasiun selain sebagai tempat pemberhentian kereta api, juga berfungsi bila terjadi persimpangan antarkereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk keperluan cadangan dan langsir. Pada saat ini pada stasiun besar umumnya ada dua macam lantai peron, yang asli berlantai rendah dan yang telah disesuaikan dengan lantai tinggi. (Peron berlantai rendah umumnya dibangun sebelum perang Dunia ke 2 sedangkan peron berlantai tinggi Umumnya dibangun setelah era kemerdekaan). hal ini dikarenakan Kereta produksi sebelum 1920 umumnya mempunyai tanngga untuk turun ke bawah Sedangkan kereta buatan sebelum tahun 1941 mempunyai tangga di dalam. Karena pada umumnya stasiun didirikan sebelum Perang Dunia II, maka lantai peron sama dengan lantai stasiun. Akibatnya para penumpang akan sulit turun-naik dari peron lama yang rendah, sedangkan kereta yang beroperasi kini pada umumnya dibuat setelah tahun 1965 yang berlantai dengan tangga yang tinggi.
Pada perkembangannya Menurut data Dirjen Perkeretaapian, dalam periode lima tahun terakhir jumlah stasiun tidak mengalami perkembangan berarti. Pada 2004 jumlah stasiun tercatat sebanyak 571 unit, yang tersebar di daerah operasi Jawa 437 unit (76,5%) dan divisi regional Sumatera 134 unit (23,5%). Sedangkan pada 2008, jumlah stasiun berkurang 1 unit menjadi 570 unit yang terdiri dari 441 unit (77,4%) di Jawa dan sisanya 129 unit (26,4%). Di Jawa terdapat penambahan stasiun dari 437 unit menjadi 441 unit, sebaliknya di Sumatera terjadi penutupan stasiun dari 134 unit menjadi 129 unit.
Disamping Permasalahan saran dan prasarana, Penyelenggaraan transportai massal melalui kereta api juga mengalami tantangan pada penyelenggaraannya, selam ini terdapat 3 kelas dalam kereta api penumpang yaitu kelas Eksekutif, Bisnis dan Ekonomi serta kereta Lokal. Kereta Api Ekonomi merupakan Kereta api yang terkesan dianaktirikan, sebagian besar kecelakaan kereta merupakan kereta Ekonomi, selain itu kereta Ekonomi dikenal sebagai kereta yang selalu mengalah dan seringkali mengalami keterlambatan kedatangan atau keberangkatan. Belum lagi kodisinya yang dipenuhi oleh pedagang keliling, pengamen dan pengemis
Permasalahan perkeretaapian ini lagi-lagi menggunakan dalih keterbatasan dana sebagai faktor penghambat perkembangan perkeretaapian, selama ini Industri perkeretaapian masih dimonopoli oleh PT KAI yang meruapakan BUMN, selain menyediakan angkutan penumpang yang katanya selalu merugi, PT KAI juga bergerak pada angkutan barang seperti batu bara di Sumatera.
Permasalahan dana ini seringkali menyebabkan PT KAI kurang dapat bergerak lebih dalam pengembangan Kereta pi di Indonesia, untuk mengatasi kekuarangan Gerbong kereta api misalnya, beberapa tahun yang lalu PT KAI terpaksa mengimpor kereta bekas dari Jepang, meskipun hanya digunakan untuk agkutan kelas Ekonomi. Menurut PT KAI, impor gerbong bekas lebih efisien dibanding dengan harus membeli dari PT INKA yang jauh lebih mahal dengan kualitas yang tidak jauh beda.
Untuk mencapai Infrastruktur yang berkeadilan di bidang perkeretaapian mungkin sudah saatnya Industri perkeretaapian tidak hanya dimonopoli leh PT KAI, perlu melibatkan sektor-sektor swasta tidak hanya pada pengembangan infrastruktur tapi juga pada penyelenggaraanya. Belajar dari Transportasi Udara yang nyatanya lebih cepat berkembang ketika melibatkan sektor swasta, maka mungkin sudah saatnya industri bisnis perkeretaapian membuka ruang bagi Swasta utuk penyelenggaraan yang lebih baik. Selain itu peran pemerintah juga perlu semakin ditingkatkan khususnya pada pengaturan regulasi antara Perusahaan BUMN (PT KAI) dengan Perusahaan Swasta.
Sumber bacaan:
http://www.bpjt.net/main.php?stateid=berita_detail&pageid=247&cat=26&strlang=id
http://www.datacon.co.id/Infrastruktur-2010KeretaApi.html
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/4722/RUU-Pengadaan-Lahan-dan-Jalan-Tol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar