Memasuki abad ke 19, tepatnya usai berakhirnya Perang Dunia (PD) II, perkembangan Wilayah di berbagai belahan dunia berkembang begitu cepat. Perkembangan ini salah satunya dipicu lepasnya berbagai negara di Asia dan Afrika dari Jajahan kolonialisme Eropa. Sebut saja Indonesia, India, dan berbagai Negara lain di Kawasan Asia dan Afrika. Kebebasan(kemerdekaan) yang diperolah berbagai negara baru ini menjadikan negara-negara tersebut lebih bebas dan leluasa mengembangkan negaranya masing-masing.
Usai masa kolonialisme yang begitu panjang, negara-negara tersebut menununjukan perkembangan yang luar bisa dalam bidang pertanian dan berlanjut sampai era industri dan jasa dengan dukungan teknologi informasi dan telekomunikasi yang begitu pesat. Negara-negara ini pun muncul sebagai Development country yang terus melaju menuju negara maju.
Sejalan dengan perkembangan yang ada, populasi penduduk Dunia Usai berakhirnya PD II meningkat secara tajam khususnya di negara-negara Asia dan Afrika. Peningkatan jumlah penduduk Dunia secara langsung menyebabkan permintaan bahan pangan semakin meningkat. Hal ini mendorong dan mengharuskan terjadinya peningkatan produksi di sektor pangan(pertanian). Namun sayangnya peningkatan jumlah penduduk seringkali tidak sepadan dengan peningkatan produksi pertanian, menurut theori bahwa jumlah penduduk bertambah menurut deret ukur sedangkan produksi pertanian bertambah menurut deret hitung, sehingga suatu saat akan mencapai titik dimana kebutuhan pangan akan jauh melampaui produksi pertanian.
Di Indonesia Usaha-usaha untuk meningkatkan produksi pertanian pada masa orde baru dikenal dengan istilah Revolusi Hijau, kegiatan ini pada masa dahulu mampu meningkatkan produksi pertanian hingga mencapai swasembada pangan. Kegiatan ini dijalankan dengan program intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian.
Faktor produsi pertanian sangat erat hubungannya dengan managemen lahan, dimana pertanian dikembangkan di suatu area yang disebut lahan pertanian. Permaslahannya adalah ketika program peningkatan produksi pertanian bertabrakan dengan program-program lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sehingga terjadilah konflik penggunaan lahan.
Misalnya, pada masa revolusi hijau pemerintah berupaya terus menggenjot produksi pertanian dengan pemanfaatan lahan pertanian seefektif mungkin (intensifikasi), kemudian membuka lahan-lahan pertanian baru (ekstensifikasi). Kenyataan ini disamping memberikan manfaat berupa meningkatnya produksi pertanian secara nasional akan tetapi juga meningkatkan risiko faktor lingkungan dan kawasan. Kegiatan intensifikasi pertanian misalnya, pemupukan secara terus-menerus melebihi batas kemampuan lahan pertanian menjadikan lahan-lahan pertanian semakin miskin kesuburan, bahkan diprediksi beberapa puluh tahun kedepan lahan pertanian di Indonesia sudah tidak produktif lagi, kemudian program ekstensifikasi pertanian juga menyisakan masalah, misalnya perambahan hutan hingga memasuki Hutan Lindung dan sebagainya, oleh karena itu pengelolaan (managemen lahan) secara tepat semestinya dapat diterapkan dalam menangani berbagai kepentingan dalam pemanfaatan lahan agar tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Bertambah padatnya penduduk dunia dan seiring perkembangan peradaban manusia dari era berburu dan meramu, era bercocok tanam (agraris), era industri dan kemudian era Jasa (services) semakin memperkeruh dan menjadikan konflik pengelolaan dan pemanfaatan semakin menjadi. Transformasi wilayah berkenampakan rural menjadi wilayah berkenampakan urban, transformasi kegiatan bercorak agraris menjadi kegiatan berbasis industri dan jasa jika tidak dipersiapkan dengan baik akan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Dalam hal managemen lahan transformasi dari wilayah berkenampakan rural menuju wilayah berkenampakan urban akan memicu timbulnya masalah-masalah sosial dan lingkungan. misalnya alih fungsi lahan dari areal pertanian (sawah) menjadi kawasan permukiman elit (real estate) maupun kawasan perdagangan (pertokoan dan segala macam), disamping terus mengancam produksi pertanian karena lahan pertanian semakin berkurang juga dapat menimbulkan masalah-masalah sosial seperti kesenjangan maupun masalah ekonomi seperti turunnya harga lahan misalnya karena lahan tersebut menjadi terisolasi akibat pembangunan maupun sebab lainnya.
Kebijakan pemerintah di Indonesia yang kurang menghargai usaha para petani menjadikan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian menjadi semakin marak, terutama di daerah perkotaan dan daerah pinggiran kota. Sebagai contoh di Kota Yogyakarta terdapat penyusutan lahan pertanian sebesar 7% per tahun (KR 7 Maret 2007), ketidakseimbangan harga komoditas pertanian dibanding komoditas lainnya menyebabkan para petani semakin tercekik, sehingga sebagian dari mereka lebih memilih menjual lahannya sebagai modal usaha dibidang lain dengan hasil yang lebih menguntungkan. Hal ini dapat difahami karena sebagai negara berkembang Negri ini ingin terus bertansformasi menuju negara maju dengan meningkatkan produksi sektor industri dan jasa, dan karena adanya presepsi dan kenyataan global bahwa negara yang berbasis ekonomi pertanian umumnya adalah negara yang berpendapatan rendah.
Rendahnya pendapatan Negara berbasis sektor pertanian, terus mendorong proses industrialisasi sebagai sektor yang lebih menguntungkan. Alih fungsi lahan pertanian terus terjadi, luas lahan pertanian pun semakin sedikit. Produksi pertanian semakin rendah padahal kebutuhan pangan semakin meningkat, dan ancaman kelangkaan pangan siap mengintai di masa depan,namun sayangnya harga komoditas pertanian tetap saja terpuruk.
Di Indonesia Keadaan ini diperparah dengan budaya kapitalisme yang terus menggerus sektor ekonomi kerakyatan seperti pertanian dan industri kecil, Industri-industri besar skala Nasional maupun Internasional terus didirikan guna mendukung proses transformasi menuju negara Industri. Peraturan RTRW diabaikan, Lahan pertanian begitu mudahnya dapat berubah menjadi area pengembangan real estate dan pusat perdagangan, Hutan Lindung menjadi Hutan tanaman industri dan kasus-kasus lainnya. Birokrasi kotor dengan begitu mudahnya dapat mengotak atik peraturan yang ada, asal ada uang katanya semua urusan bisa diselesaikan. Faktor kepentingan umum dan asas-asas berkelanjutan diabaikan guna kepentingan segelintir orang dengan embel-embel kepentingan Negara.
Secara umum terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata ruang di Indonesia, yaitu UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari segi konsep dan peraturan memang sudah jelas, namun dari segi pengimplementasian? Dalam kenyataannya pemerintah (birokrat) begitu mudah mengubah zonasi kawasan dalam RTRW untuk kepentingan ekonomi yang lebih menguntungkan. Tanpa memperhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan dalam hal ini ketahanan pangan di masa depan. Ambigu memang, peraturan dibuat sendiri dan dilanggar sendiri. Tidak adanya ketegasan dari pihak yang berwenang dalm mengatur zonasi dan pemanfaatan lahan merupakan salah satu sebab munculnya penyalahgunaan dan konflik kepentingan terhadap lahan.
Dalam pemanfaatan lahan perlu kita sadari aspek ketersediaannya di masa yang akan datang sebagai implementasi dari sustainable development, dikarenakan lahan sifatnya terbatas dan tidak akan bertambah, sedangkan populasi manusia semakin bertambah. Untuk kelangsungan hidup maka manusia memerlukan makan, dan makanan tersebut secara pokok hanya dihasilkan dari lahan pertanian, jika kemudian lahan pertanian semakin menyusut dan digantikan dengan industri-industri dan lain sebagainya, maka bagaimanakah nasib lahan pertanian sebagai penghasil bahan pangan selanjutnya? Apakah manusia nantinya tidak butuh komoditas pertanian lagi? Apakah kita nantinya akan makan tembaga, besi, manufaktur, beton sebagai hasil industri? Ataukah kita akan memakan kertas-kertas uang sebagai simbol keuntungan ekonomi? Mungkinkah kita akan bisa seperti itu?
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Managemen lahan dalam pengelolaan lahan pertanian sebagai penyedia bahan pangan di masa sekarang dan masa depan sangat mutlak di perlukan. perlu adanya peraturan yang tegas tentang zonasi kawasan pertanian dengan pengawasan yang optimal. penduduk yang mempunyai lahan pertanian perlu diberikan penghargaan baik berupa insentif maupun sebagainya, komoditas pertanian perlu lebih dihargai agar tidak terjadi kesenjangan begitu jauh antara produk pertanian dengan produk non-pertanian, antara produk perdesaan dan produk perkotaan. Hal ini menjadi mutlak untuk membuat para petani dapat tetap mempertahankan lahan mereka untuk pertanian. Dan untuk menjamin keberlanjutan pangan di masa depan.
_tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Managemen Lahan Prodi Pembangunan Wilayah UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar