Sabtu, 02 Mei 2015. Entah sudah berapa kali
bangsa ini memperingati hari Pendidikan Nasional. Entah sudah berapa lama pula
berbagai masalah pendidikan menumpuk urung mendapat jalan keluar.
Pendidikan di Indonesia masih
menghadapi berbagai tantangan. pemertaan akses dan fasilitas, kualifikasi
pendidik, carut-marut bongkar-pasang kurikulum hingga isu kebocoran soal Ujian
Nasional masih kerap mengisi headline pemberitaan media kita.
Seorang guru honorer, di sebuah
sekolah di pulau jawa sering bercerita kepada saya. Bukan, bukan perkara
gajinya yang tidak seberapa. Melainkan tentang praktik kotor yang kian
membudaya di sekolahnya. Berbagai manipulasi untuk mendongkrak nama sekolah
ataupun pendapatan tenaga pendidik menyentak hati nuraninya. Berikut saya coba
tuliskan kisahnya.
“Khadijah” -bukan nama sebenarnya- adalah
seorang guru madrasah, beliau memutuskan mengabdi di madrasah untuk
menggantikan ayahnya “Abdullah” yang kian menginjak usia senja. Madrasah tersebut
adalah rintisan perjuangan pak Abdullah bersama rekan-rekannya. Hampir 40 tahun
pak Abdullah mengabdi membesarkan madrasahnya. hingga beliau memutuskan
berhenti, tak sepeserpun uang pensiun di dapatnya. Maklum meskipun lebih dari
separuh umurnya dihabiskan untuk mengabdi, beliau bukanlah pegawai negeri.
Khadijah masuk madrasah dengan
kondisi yang sudah sangat berbeda dibanding era ayahnya. Madrasah kini bisa
lebih bernafas dengan suntikan dana BOS dan BSM. Untuk kesejahteraan tenaga
pendidiknya, meskipun masih sangat jauh dibanding pegawai negeri setidaknya
sudah ada tunjangan fungsional dan sertifikasi. Untuk seorang guru yang
mengajar lebih dari 30 jam/pekan, Khadijah rata-rata bisa mendapat gaji 1 - 1,5
juta/bulan. Adapun rekan-rekannya yang sudah mendapat sertifikasi, untuk sesama
tenaga honorer bisa mendapat 2,5 - 3 juta/bulan. Sedangkan pegawai negeri? Jauh
lebih besar lagi bisa 4-5 juta/bulan. (Perhitungan gaji tersebut adalah
pendapatan total. Gaji pokok + berbagai tunjangan).
Khadijah mengajar di sebuah madrasah
yang terakreditasi A. cukup mentereng karena letaknya berada di desa. Khadijah pun
masih belum bisa percaya mengapa madrasahnya bisa mendapat akreditasi A. -Dan kisah ini bermula- Khadijah bertutur, sebelum tim akreditasi datang
meninjau madrasah, kepala madrasah telah terlebih dahulu bersilaturahmi ke
rumah tim akreditasi, sambil membawa amplop tentunya apalagi kalau bukan untuk
mendongkrak penilaian atas madrasahnya. And taraam.. akreditasi A pun
terbit meskipun dari segi prestasi madrasah tersebut masih jauh dari unggul,
jangankan pernah memenangkan perlombaan propinsi, tingkat kabupaten saja masih
sekedar mimpi.
Menjelang UAMBN (Ujian Akhir Madrasah
Berstandar Nasional) tahun lalu, khadijah kembali bercerita. Bukan, bukan tentang
kebocoran soal atau jawaban, di madrasahnya masih belum sampai tahap demikian. Dia
mengeluhkan anak didiknya yang telah dibina sedemikian rupa, menjelang UAMBN
justru dibreafing untuk saling kerjasama memberikan contekan. Lengkap dengan
dengan tekniknya agar tidak diketahui pengawas. Guna memudahkan anak didik
saling mencotek, kepala madrasah berkeliling ruangan untuk mengajak pengawas
ngobrol bersama hingga sejenak lupa akan tugasnya.
Khadijah adalah satu beberapa guru di
madrasahnya yang tidak pernah lagi mau menemani muridnya saat LT (Lomba tingkat)
PRAMUKA. Pengalaman pertama menemani murid-muridnya justru membuatnya dipaksa untuk
memberikan bocoran jawaban atas soal-soal LT. bocoran diberikan saat perjalanan
dari POS satu menuju POS lainnya. Dan sudah menjadi rahasia umum, sekolah yang
menempatkan wakilnya sebagai juri, pasti akan mendapat juara.
Beberapa bulan yang lalu, saya
kembali bertemu khadijah. Dia mengeluh ingin berhenti dari madrasahnya. Dia bercerita
tentang rekan-rekanya yang sudah mendapat sertifikasi namun bekerja sesuka hati.
(Saya tidak tahu, mungkin dia iri atau karena memang karena tidak sesuai hati
nurani). Dia bercerita tentang manipulasi jam mengajar yang disamaratakan 24
jam/orang guna kepentingan laporan dan mendapat tunjangan. Padahal faktanya dia
mengajar lebih dari 30 jam, sedangkan rekannya yang sudah sertifikasi ada yang
hanya mengajar 20, 18 bahkan 16 jam.
Di madrasahnya jam belajar hanya
sampai 12.30 atau 13.00, namun ketentuan bagi yang sudah mendapat sertifikasi
harus pulang pukul 14.30. dan yang terjadi? Semuanya tetap pulang pukul 13.00 sedangkan
bagi yang mendapat sertifikasi akan kembali lagi ke madrasah pukul 14.30 untuk
sekedar mengisi absensi. Bagi yang lupa absensi? tenang semua bisa
dimanipulasi. Melihat kenyataan tersebut khadijah pernah menanyakan kepada
dinas pendidikan kabupaten. Namun apa latah, mereka justru memaklumi sambil
berujar “tolong-menolong” istilahnya.
Khadijah kian resah, baginya salah satu esensi pendidikan adalah menanamkan nilai kejujuran. Akan seperti apa kelak anak didiknya jika di bangku sekolah justru diajari ketidakjujuran? Dan bagaimana mungkin kejujuran akan ditanamkan oleh pendidik yang tidak jujur?
Khadijah tidak menyerah, selepas
aktivitas padatnya mengajar di madrasah, di sore hari dia membuka TPA (Taman
Pendidikan Al-Qur’an) di musholla kecil di samping rumahnya yang kini kian
ramai dengan lebih dari 70 santri aktif. “TPA Ash-Shidqiyah” dia beri nama,
berharap masih bisa membentengi anak-anak untuk meneladani salah satu sifat
mulia Rasullullah SAW. As-Shidqiyah = Kejujuran.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Bu
Khadijah. Semoga tetap istiqomah memperjuangkan nilai-nilai kejujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar