Jumat, 01 Mei 2015

Selamat Hari Pendidikan Nasional, Bu Khadijah



Sabtu, 02 Mei 2015. Entah sudah berapa kali bangsa ini memperingati hari Pendidikan Nasional. Entah sudah berapa lama pula berbagai masalah pendidikan menumpuk urung mendapat jalan keluar. 


Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. pemertaan akses dan fasilitas, kualifikasi pendidik, carut-marut bongkar-pasang kurikulum hingga isu kebocoran soal Ujian Nasional masih kerap mengisi headline pemberitaan media kita.


Seorang guru honorer, di sebuah sekolah di pulau jawa sering bercerita kepada saya. Bukan, bukan perkara gajinya yang tidak seberapa. Melainkan tentang praktik kotor yang kian membudaya di sekolahnya. Berbagai manipulasi untuk mendongkrak nama sekolah ataupun pendapatan tenaga pendidik menyentak hati nuraninya. Berikut saya coba tuliskan kisahnya.


“Khadijah” -bukan nama sebenarnya- adalah seorang guru madrasah, beliau memutuskan mengabdi di madrasah untuk menggantikan ayahnya “Abdullah” yang kian menginjak usia senja. Madrasah tersebut adalah rintisan perjuangan pak Abdullah bersama rekan-rekannya. Hampir 40 tahun pak Abdullah mengabdi membesarkan madrasahnya. hingga beliau memutuskan berhenti, tak sepeserpun uang pensiun di dapatnya. Maklum meskipun lebih dari separuh umurnya dihabiskan untuk mengabdi, beliau bukanlah pegawai negeri.


Khadijah masuk madrasah dengan kondisi yang sudah sangat berbeda dibanding era ayahnya. Madrasah kini bisa lebih bernafas dengan suntikan dana BOS dan BSM. Untuk kesejahteraan tenaga pendidiknya, meskipun masih sangat jauh dibanding pegawai negeri setidaknya sudah ada tunjangan fungsional dan sertifikasi. Untuk seorang guru yang mengajar lebih dari 30 jam/pekan, Khadijah rata-rata bisa mendapat gaji 1 - 1,5 juta/bulan. Adapun rekan-rekannya yang sudah mendapat sertifikasi, untuk sesama tenaga honorer bisa mendapat 2,5 - 3 juta/bulan. Sedangkan pegawai negeri? Jauh lebih besar lagi bisa 4-5 juta/bulan. (Perhitungan gaji tersebut adalah pendapatan total. Gaji pokok + berbagai tunjangan).


Khadijah mengajar di sebuah madrasah yang terakreditasi A. cukup mentereng karena letaknya berada di desa. Khadijah pun masih belum bisa percaya mengapa madrasahnya bisa mendapat akreditasi A. -Dan kisah ini bermula- Khadijah bertutur, sebelum tim akreditasi datang meninjau madrasah, kepala madrasah telah terlebih dahulu bersilaturahmi ke rumah tim akreditasi, sambil membawa amplop tentunya apalagi kalau bukan untuk mendongkrak penilaian atas madrasahnya. And taraam.. akreditasi A pun terbit meskipun dari segi prestasi madrasah tersebut masih jauh dari unggul, jangankan pernah memenangkan perlombaan propinsi, tingkat kabupaten saja masih sekedar mimpi.


Menjelang UAMBN (Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional) tahun lalu, khadijah kembali bercerita. Bukan, bukan tentang kebocoran soal atau jawaban, di madrasahnya masih belum sampai tahap demikian. Dia mengeluhkan anak didiknya yang telah dibina sedemikian rupa, menjelang UAMBN justru dibreafing untuk saling kerjasama memberikan contekan. Lengkap dengan dengan tekniknya agar tidak diketahui pengawas. Guna memudahkan anak didik saling mencotek, kepala madrasah berkeliling ruangan untuk mengajak pengawas ngobrol bersama hingga sejenak lupa akan tugasnya.


Khadijah adalah satu beberapa guru di madrasahnya yang tidak pernah lagi mau menemani muridnya saat LT (Lomba tingkat) PRAMUKA. Pengalaman pertama menemani murid-muridnya justru membuatnya dipaksa untuk memberikan bocoran jawaban atas soal-soal LT. bocoran diberikan saat perjalanan dari POS satu menuju POS lainnya. Dan sudah menjadi rahasia umum, sekolah yang menempatkan wakilnya sebagai juri, pasti akan mendapat juara.


Beberapa bulan yang lalu, saya kembali bertemu khadijah. Dia mengeluh ingin berhenti dari madrasahnya. Dia bercerita tentang rekan-rekanya yang sudah mendapat sertifikasi namun bekerja sesuka hati. (Saya tidak tahu, mungkin dia iri atau karena memang karena tidak sesuai hati nurani). Dia bercerita tentang manipulasi jam mengajar yang disamaratakan 24 jam/orang guna kepentingan laporan dan mendapat tunjangan. Padahal faktanya dia mengajar lebih dari 30 jam, sedangkan rekannya yang sudah sertifikasi ada yang hanya mengajar 20, 18 bahkan 16 jam. 


Di madrasahnya jam belajar hanya sampai 12.30 atau 13.00, namun ketentuan bagi yang sudah mendapat sertifikasi harus pulang pukul 14.30. dan yang terjadi? Semuanya tetap pulang pukul 13.00 sedangkan bagi yang mendapat sertifikasi akan kembali lagi ke madrasah pukul 14.30 untuk sekedar mengisi absensi. Bagi yang lupa absensi? tenang semua bisa dimanipulasi. Melihat kenyataan tersebut khadijah pernah menanyakan kepada dinas pendidikan kabupaten. Namun apa latah, mereka justru memaklumi sambil berujar “tolong-menolong” istilahnya.


Khadijah kian resah, baginya salah satu esensi pendidikan adalah menanamkan nilai kejujuran. Akan seperti apa kelak anak didiknya jika di bangku sekolah justru diajari ketidakjujuran? Dan bagaimana mungkin kejujuran akan ditanamkan oleh pendidik yang tidak jujur?


Khadijah tidak menyerah, selepas aktivitas padatnya mengajar di madrasah, di sore hari dia membuka TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di musholla kecil di samping rumahnya yang kini kian ramai dengan lebih dari 70 santri aktif. “TPA Ash-Shidqiyah” dia beri nama, berharap masih bisa membentengi anak-anak untuk meneladani salah satu sifat mulia Rasullullah SAW. As-Shidqiyah = Kejujuran.


Selamat Hari Pendidikan Nasional, Bu Khadijah. Semoga tetap istiqomah memperjuangkan nilai-nilai kejujuran.