Tanimbar Kei merupakan pulau paling ujung tenggara dari kepulauan
kei, Maluku Tenggara. Pulau ini dinamakan Tanimbar Kei karena merupakan
peralihan dari Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Kei. Untuk menjangkau pulau ini
tidak ada kapal line atau yang berjadwal tetap, sehingga pilihannya hanya 2
yaitu ikut bersama kapal motor masyarakat atau menyewa speed boat. Pulau ini
dapat dijangkau dari langgur (ibukota maluku tenggara) selama kurang lebih 5-6
jam menggunakan kapal motor masyarakat atau sekitar 2-3 jam jika menggunakan
speed boat (termasuk waktu tempuh dari kota langgur menuju pelabuhan debut).
(Perahu kayu, transportasi andalan masyarat tanimbar kei) |
Guna menjangkau pulau ini harus pandai menghitung waktu.
Dikarenakan jika salah perhitungan, kapal terpaksa harus bersandar dulu di
pulau nuhuta (pulau kosong di utara tanimbar kei) atau terkatung-katung di
tengah laut karena terjebak surut air laut atau yang oleh warga setempat
disebut meti. aktivitas pasang surut di pulau tanimbar kei sendiri termasuk
dalam tipe pasang surut ganda (mix prevailing semidiurnal) yang terjadi
pada waktu pagi-sore atau siang-malam.
Selain harus pandai mengitung waktu pasang surut, ombak di perairan
menuju pulau tanimbar kei juga terkenal
cukup tinggi terutama di celah antara pulau nuhuta dan pulau tanimbar kei.
ketinggian ombak di perairan ini dipengaruhi oleh arus laut yang mengalir dari
laut arafura menuju laut banda, dimana pulau tanimbar kei merupakan salah satu
zona peralihan diantara keduanya.
Meskipun demikian, pulau tanimbar kei tetap menjadi pilihan bagi
sekitar 750 penduduk untuk tetap bermukim dan mencari penghidupan. Pulau ini
sangat kaya akan sumberdaya alam yang masih sangat terjaga. menurut cerita
masyarakat, pulau tanimbar kei dulunya merupakan pulau terpadat kedua setelah
pulau dullah (kota tual). salah satu cacatan kolonial Hindia Belanda pada tahun
1880an menyebutkan pada waktu itu pulau ini telah dihuni sekitar 1000 penduduk.
Demikian juga bagi peneliti maupun wisatwan, pulau ini selalu
menarik untuk dikunjungi. kunjungan wisatawan dan peneliti di pulau ini
mencapai 50 persen dari total kunjungan yang tercatat di buku tamu desa.
menariknya mayoritas kunjungan wisata di pulau ini didominasi oleh wisatawan
mancanegara. Dalam 10 tahun terakhir tercatat wisatawan dari 23 negara telah
mengunjungi pulau ini yang didominasi oleh wisatawan Eropa. Pulau ini juga
telah menarik antropolog Prancis Dr.Cecile Barraud untuk tinggal bertahun-tahun
guna mengamati kehidupan masyarakat adat tanimbar kei.
(Rumah Adat, penjaga adat tanimbar kei) |
Salah satu daya tarik pulau tanimbar kei adalah adat dan budaya
leluhur yang masih di pegang teguh oleh masyarakatnya. Di kepulauan kei hanya
di pulau ini masih dijumpai rumah adat yang dipertahankan bentuk dan
keasliannya selama beratus-ratus tahun. Bagi masyarakat tanimbar kei, adat
menjadi pegangan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan maupun memecahkan
berbagai masalah dan persoalan.
Sasi,
sistem adat untuk pengendalian pemanfaatan SDA
Adat juga menjadi sumber pedoman dalam pengelolaan sumberdaya alam
termasuk untuk mengatur pengambilan sumberdaya alam baik di darat ataupun di
laut. berbagai peraturan adat tentang
pengelolaan sumberdaya ini bahkan telah dibuat secara tertulis (dibukukan)
menjadi peraturan desa dan peraturan adat.
Guna menjaga kelesatarian sumberdaya alam, masyarakat menggunakan
sistem sasi Sumberdaya. Sasi merupakan sistem adat untuk membatasi
aktivitas masyarakat pada kawasan atau waktu tertentu. Sasi sumberdaya dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada sumberdaya alam darat, pesisir dan laut untuk memberi
kesempatan tumbuh dan berkembang sehingga dapat terjaga kelestariannya.
Penetapan waktu sasi ada yang sudah terjadwal maupun berdasarkan tanda-tanda
alam. di pulau tanimbar kei terdapat berbagai sasi untuk sumberdaya alam
diantaraanya yaitu:
Ø Sasi Lola (Throcus niloticus) dibuka 3 hari dalam setahun,
Ø Sasi teripang dibuka setelah penutupan sasi
lola sampai ketika ada angin kencang
Ø Sasi kelapa pulau nuhuta dilakukan selama
sekitar 4-6 bulan dan dibuka sampai penduduk selesai mengambil dan membuat
kopra.
Ø Sasi
benda, pohon dan hewan-hewan tertentu.
Penyu, Hewan Sakral yang tidak boleh
diperjual-belikan
Selain sasi, masyarakat adat juga mempunyai kearifan lain terutama yang berkaitan
dengan totenisme (kepecayaan teradap binatang-bintang tertentu). Jika di daerah
lain masih banyak masyarakat yang menangkap memperdagangkan penyu, maka hal ini
tidak berlaku di pulau Tanimbar kei. Penyu merupakan hewan sakral yang tidak
sembarangan bisa ditangkap dan diperdagangkan.
Apabila ada masyarakat yang menemukan
atau menangkap penyu, maka hasil tangkapan itu seharusnya menjadi milik adat
dan harus disajikan kepada tetua adat dan dimakan bersama-sama. Apabila ada
yang memperjual belikan penyu, maka orang tersebut terkena sanksi adat dan
harus membayar denda dengan menyembelih seekor babi dan mengikuti ritual adat
yang telah ditentukan. Kearifan lokal ini cukup ampuh menekan penangkapan penyu
secara berlebihan di pulau Tanimbar Kei.
Perkembangan zaman sebuah tantangan.
Demikianlah, masyarakat tanimbar kei
secara beratus-ratus tahun telah hidup bersama adat untuk mengatur berbagi
aspek kehidupan termasuk dalam pengelolaan sumberdaya Alam. Meskipun zaman
telah silih berganti dan tantangan juga tak pernah henti, masyarakat tanimbar
kei terbukti mampu mempertahankan adat sebagai warisan leluhur yang dihormati.
Tulisan ini juga diterbitkan di Web DFW Indonesia